Sunday, 24 May 2015

MAKALAH PENSKORAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bentuk kegiatan tindak lanjut dari tes yang telah dilakukan terhadap siswa adalah memberikan skor pada setiap lembar jawaban siswa. Kegiatan ini harus dilakukan dengan cermat karena menjadi dasar bagi kegiatan pengolahan hasil tes sampai menjadi nilai prestasi. Sebelum melakukan tes, hal yang harus disiapkan adalah menyusun teknik pemberian skor (penskoran) dan strategi pemberian skor sejak perumusan kalimat pada setiap butir soal.
Pada kegiatan belajar ini akan disajikan pemberian skor pada tes domain kognitif, afektif, dan psikomotor sesuai dengan pedoman yang telah dikeluarkan oleh Diknas (2004) yang telah dimodifikasi. Membuat pedoman penskoran sangat diperlukan, terutama untuk soal bentuk uraian dalam tes domain kognitif supaya subjektivitas guru dalam memberikan skor dapat diminimalisir. Pedoman menyusun skor juga akan sangat penting ketika melakukan tes domain afektif dan psikomotor peserta didik, karena sejak tes belum dimulai, guru harus mampu menentukan ukuran-ukuran sikap dan pilihan tindakan dari peserta didik dalam menguasai kompetensi yang dipersyaratkan.
Pada makalah ini, kita akan mempelajari teknik pemberian skor (penskoran) baik pada domain/ ranah kogntig, afektif, maupun psikomotorik sehingga guru diharapkan memiliki pengetahuan dan kapabilitas untuk memberi skor pada berbagai soal metode tes.

1.2 Rumusan masalah
1.  Bagaimana konsep skoring itu?
2. Apa arti penting skoring bagi kegiatan evaluasi hasil belajar?
3. Bagaimana teknik skoring untuk domain kognitif?
4. Bagaimana teknik skoring untuk domain afektif?
5. Bagaimana teknik skoring untuk domain psikomotorik?







BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Penilaian Dan Penskoran
A. Definisi Penskoran
Pada hakikatnya pemberian skor (scoring) adalah proses pengubahan jawaban instrumen menjadi angka-angka yang merupakan nilai kuantitatif dari suatu jawaban terhadap item dalam instrumen. Angka-angka hasil penilaian selanjutnya diproses menjadi nilai-nilai (grade). Skor adalah hasil pekerjaan menyekor (memberikan angka) yang diperoleh dari angka-angka dari setiap butir soal yang telah di jawab dengan benar, dengan mempertimbangkan bobot jawaban yang benar.
Maka dapat disimpulkan bahwa Penskoran (skoring) adalah suatu proses pengubahan jawaban-jawaban tes menjadi angka-angka. Skor adalah hasil pekerjaan menskor yang diperoleh dengan menjumlahkan angka-angka bagi setiap soal tes yang dijawab dengan benar oleh siswa. Skor maksimum tidak selalu tetap, karena ditentukan berdasarkan atas banyak serta bobot soal-soal tesnya.
Dalam menskor atau menentukan angka, dapat digunakan 3 macam alat bantu yaitu :
1.        Pembantu menentukan jawaban yang benar, disebut kunci jawaban
2.        Pembantu menyeleksi jawaban yang benar dan yang salah, disebut kunci skoring
3.        Pembantu menentukan angka, disebut pedoman penilaian
Adapun pada umumnya, pengolahan data hasil tes menggunakan bantuan statistik. Menurut Zainal Arifin (2006) dalam pengolahan data hasil tes menggunakan empat langkah pokok yang harus di tempuh.
1.        Menskor, yaitu memperoleh skor mentah daritiga jenis alat bantu, yaitu kunci jawaban kunci scoring dan pedoman konversi.
2.        Mengubah skor mentah menjadi skor standar
3.        Menkonversikan skor standar kedalam nilai
4.        Melakukan analisis soal (jika diperlukan) untuk mengetahui derajat validitas dan realibilitas soal, tingkat kesukaran soal (difficulty index) dan daya pembeda.

B.   Perbedaan Antara Skor Dan Nilai
Dewasa ini banyak diantara para guru sendiri yang masih rancu mengenai definisi dari skor dan nilai. Skor adalah hasil pekerjaan menskor yang diperoleh dengan menjumlahkan angka-angka bagi setiap soal tes yang dijawab benar oleh siswa. Sedangkan nilai adalah angka ubahan dari skor dengan menggunakan acuan tertentu, yakni acuan normal atau acuan standar. Pengubahan skor menjadi nilai dapat dilakukan untuk skor tunggal, misalnya sesudah memperoleh skor ulangan harian atau unutk skor gabungan dari beberapa ulangan dalam rangka memperoleh nilai akhir untuk rapor. Secara rinci skor dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu skor yang diperoleh (obtained score) dan skor sebenarnya (true score).
Skor yang diperoleh (obtained score) adalah sejumlah angka yang dimiliki oleh testee sebagai hasil mengerjakan tes. Kelemahan-kelemahan butir tes, situasi yang tidak mendukung, kecemasan, dan lain-lain faktor dapat berakibat terhadap skor yang diperoleh ini. Apabila faktor-faktor yang berpengaruh ini muncul, baik sebagian ataupun menyeluruh, penilai tidak dapat mengira-ngira seberapa cermat skor yang diperoleh siswa ini mampu mencerminkan pengetahuan dan keterampilan siswa yang sesungguhnya.
Skor sebenarnya (true score) seringkali juga disebut dengan istilah skor univers atau skor alam (universe skor), adalah nilai hipotesis yang sangat tergantung dari perbedaan individu berkenaan dengan pengetahuan yang dimiliki secara tetap. Sebagai contoh adalah apabila seseorang diminta untuk mengerjakan sebuah tes berulang-ulang, maka rata-rata dari hasil tersebut menggambarkan resultan dari variasi hasil yang tidak ajeg. Inilah gambaran mengenai skor sebenarnya. Akan tetapi di dalam praktek tentu tidak mungkin bahwa penilai meminta kepada testee untuk mengerjakan sebuah tes secara berulang-ulang. Gambaran ini hanya untuk menunjukkan contoh saja dalam menjelaskan pengertian skor sebenarnya.


C.     Skala penskoring
1.    Skala 0 – 10
Dalam penggunaan skala 10, skor aktual siswa ditransfer ke dalam 10 kelompok nilai, yaitu: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10. Skala 10 ini dipakai di sekolah sesuai dengan anjuran pada kurikulum 1975, bahwa seorang siswa yang sudah belajar tidak mungkin pengetahuannya tidak bertambah, apalagi berkurang. Oleh karena itu, nilai 0 (nol) ditiadakan. sehingga memungkinkan bagi guru untuk penilaian yang lebih halus. Dalam skala 1-10, guru jarang memberikan angka pecahan, misalnya 5,5. Angka 5,5 tersebut kemudian dibulatkan menjadi 6. Dengan demikian maka rentangan angka 5,5 sampai dengan 6,4 (selisih hampir 1) akan keluar di rapor dalam satu wajah, yaitu angka 6.
2.    Skala 0 – 100
Memang diseyogyakan bahwa angka itu merupakan bilangan bulat. Dengan menggunakan skala 1-10 maka bilangan bulat yang ada masih menunjukkan penilaian yang agak kasar. Untuk itulah maka dengan menggunakan skala 1-100, dimungkinkan melakukan penilaian yang lebih halus karena terdapat 100 bilangan bulat. Nilai 5,5 dan 6,4 dalam skala 1-10 yang biasanya dibulatkan menjadi 6, dalam akala 1-100 ini boleh dituliskan dengan 55 dan 64. Nilai dengan menggunakan skala 100 disebut skor T yang bergerak pada interval 0 sampai dengan 100. Nilai dengan menggunakan skala 100 ini didasari oleh nilai z.
3.    Skala baku (skor Z dan skor T )
Skala baku (standar) disebut juga skala z, dan nilainya disebut nilai baku atau nilai z. Dasarnya adalah kurva normal baku yang memiliki nilai rerata = 0 dan simpangan baku s = 1.
4.    Skala Huruf (skala lima)
Skala lima disebut juga dengan skala huruf karena nilai akhir tidak dinyatakan dengan angka (bilangan), malainkan dengan huruf A, B, C, D, dan E. Beberapa pakar evaluasi pendidikan ada pula yang menggunakan huruf F (failure) atau huruf G (gagal) sebagai pengganti nilai E.

2.2 Pemberian Skor Tes pada Domain Kognitif
a.  Penskoran Soal Bentuk Pilihan Ganda
Cara penskoran tes bentuk pilihan ganda ada tiga macam, yaitu: pertama penskoran tanpa ada koreksi jawaban, penskoran ada koreksi jawaban, dan penskoran dengan butir beda bobot.
1)   Penskoran tanpa koreksi, yaitu penskoran dengan cara setiap butir soal yang dijawab benar mendapat nilai satu (tergantung dari bobot butir soal), sehingga jumlah skor yang diperoleh peserta didik adalah dengan menghitung banyaknya butir soal yang dijawab benar. Rumusnya sebagai berikut.
B = banyaknya butir yang dijawab benar
N = adalah banyaknya butir soal
Contohnya adalah sebagai berikut :
Pada suatu soal tes ada 50 butir, Budi menjawab benar 25 butir, maka skor yang dicapai Budi adalah:


2)   Penskoran ada koreksi jawaban, yaitu pemberian skor dengan memberikan pertimbangan pada butir soal yang dijawab salah dan tidak dijawab, adapun rumusnya adalah sebagai berikut:
B: Banyaknya soal yang dijawab benar
S: Banyaknya soal yang dijawab salah
P: Banyaknya pilihan jawaban tiap butir
N: Banyaknya butir soal
Contoh :
Pada soal bentuk pilihan ganda yang terdiri dari 40 butir soal dengan 4 pilihan tiap butir dan banyaknya 40 butir, Amir dapat menjawab benar 20 butir, menjawab salah 12 butir dan tidak dijawab ada 8 butir, maka skor yang diperoleh Amir adalah:


3)        Penskoran dengan butir beda bobot, yaitu pemberian skor dengan memberikan bobot berbeda pada sekelompok butir soal. Biasanya bobot butir soal menyesuaikan dengan tingkatan kognitif (pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi) yang telah dikontrak guru. Anda juga dapat membedakan bobot butir soal dengan cara lain, misalnya ada sekelompok butir soal yang dikembangkan dari buku pegangan guru dan sekelompok yang lain dari luar buku pegangan diberi bobot berbeda, yang pertama satu, yang lain dua. Adapun rumusnya sebagai berikut.

Bi = banyaknya butir soal yang dijawab benar peserta tes
bi = bobot setiap butir soal
St = skor teoritis (skor bila menjawab benar semua butir soal)

Contoh:
Pada suatu soal tes matapelajaran IPA berjumlah 40 butir yang terdiri dari enam tingkat domain kognitif diberi bobot sebagai berikut: pengetahuan bobot 1, pemahaman 2, penerapan 3, analisis 4, sintesis 5, dan evaluasi 6.

Yoyok dapat menjawab benar 8 butir soal domain pengetahuan dari 12 butir, 12 butir dari 20 butir soal pehamanan, 2 butir soal penerapan dari 4 butir, 1 butir soal analisis dari 2 butir, dan 1 butir soal sintesis dan evaluasi masing-masing 1 butir. Berapakah skor yang diperoleh Yoyok?
Untuk mempermudah memberi skor disusun Tabel 6.1. sebagai berikut.
Tabel 6.1. Contoh Pemberian Skor




                  

Jadi skor yang diperoleh Yoyok adalah 63,9%, artinya Yoyok dapat menguasai tes matapelajaran IPA sebesar 63,9%

b.  Penskoran Soal Bentuk Uraian Objektif
Pada bentuk soal uraian objektif, biasanya langkah-langkah mengerjakan dianggap sebagai indikator kompetensi para peserta didik. Oleh sebab itu, sebagai pedoman penskoran dalam soal bentuk uraian objektif adalah bagaimana langkah-langkah mengerjakan dapat dimunculkan atau dikuasai oleh peserta didik dalam lembar jawabannya.
Untuk membuat pedoman penskoran, sebaiknya melihat kembali rencana kegiatan pembelajaran untuk mengidentifikasi indikator-indikator tersebut. Perhatikan contoh berikut.
Indikator : Peserta didik dapat menghitung isi bangun ruang (balok) dan mengubah satuan ukurannya.
Butir soal :
Sebuah bak mandi berbentuk balok berukuran panjang 150 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 75 cm. Berapa literkah isi bak mandi tersebut? (untuk menjawabnya tuliskan langkah-langkahnya!)


Tabel 6.2. Pedoman penskoran uraian objektif


c.  Penskoran Soal Bentuk Uraian Non-Objektif
Prinsip penskoran soal bentuk uraian non-objektif sama dengan bentuk uraian objektif yaitu menentukan indikator kompetensinya. Perhatikan contoh berikut.
Indikator: Peserta didik dapat mendeskripsikan alasan Warga Negara Indonesia bangga menjadi Bangsa Indonesia.
Butir soal: Tuliskan alasan-alasan yang membuat Anda bangga sebagai Bangsa Indonesia!
Pedoman penskoran:
Jawaban boleh bermacam-macam namun pada pokok jawaban tadi dapat dikelompokkan sebagai berikut.
Tabel 6.3. Contoh Pedoman Penskoran

Tidak ada jawaban yang pasti terhadap tes bentuk uraian ini. Jawaban yang diperoleh akan sangat beraneka ragam. Untuk menentukan standar lebih dahulu, tentulah sukar. Sebagai upaya untuk meminimalisir hambatan tersebut adalah dengan mengikuti beberapa langkah-langkah berikut yang harus dilakukan guru pada waktu mengoreksi dan memberi angka tes bentuk uraian. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
1.        Membaca soal pertama dari seluruh siswa untuk mengetahui situasi jawaban. Dengan membaca seluruh jawaban, guru dapat memperoleh gambaran lengkap tidaknya jawaban yang diberikan siswa secara keseluruhan.
2.        Menentukan angka untuk soal pertama tersebut. Misalnya, jika jawabannya lengkap diberi angka 5, kurang sedikit diberi angka 4, begitu seterusnya sampai kepada jawaban yang paling rendah. Dalam menentukan angka pada hal yang terakhir ini umumnya kita perlu berpikir bahwa tidak ada unsur tebakan. Dengan demikian ada dua pendapat, satu pendapat menentukan angka 1 atau 2 bagi jawaban yang salah, tetapi pendapat lain menentukan angka 0 untuk jawaban itu. Tentu saja bagi jawaban yang kosong (tidak ada jawaban sama sekali), jelas diberikan angka 0.
3.        Memberikan angka bagi soal pertama
4.        Membaca soal kedua dari seluruh siswa untuk mengetahui situasi jawaban, dilanjutkan dengan pemberian angka untuk soal kedua.
5.        Mengulangi langkah-langkah tersebut untuk tes soal berikutnya, dan seterusnya hingga seluruh soal diberi angka.
6.        Menjumlahkan angka-angka yang diperoleh oleh masing-masing siswa untuk tes bentuk uraian.
Setelah mempelajari hal-hal tersebut, dapat kita simpulkan bahwa dengan membaca terlebih dahulu seluruh jawaban yang diberikan oleh siswa, kita menjadi tahu bahwa mungkin tidak ada seorang pun dari siswa yang menjawab dengan betul untuk sesuatu nomor soal.
Menghadapi situasi seperti ini, kita gunakan cara pemberian angka yang relatif. Misalnya, untuk sesuatu nomor soal jawaban yang paling lengkap hanya mengandung 3 unsur, padahal kita menghendaki 5 unsur, maka kepada jawaban yang paling lengkap itulah kita berikan angka 5, sedangkan untuk yang menjawab hanya 2 atau 1 unsur, kita beri angka lebih sedikit, yaitu misalnya 3,5; 2; 1,5 dan seterusnya.
Dengan cara ini maka pemberian angka pada tes bentuk uraian tidak akan dapat konsisten atau tetap dari kelas ke kelas atau dari tahun ke tahun.


Uraian penjelasan di atas ini adalah cara memberikan angka dengan menggunakan atau mendasarkan pada norma kelompok (norm referenced test). Apabila dalam memberikan angka menggunakan atau mendasarkan pada standar mutlak (criterion referenced test), maka langkah-langkah yang dilakukan akan berbeda. Hal-hal yang harus diperhatikan ulang adalah sebagai berikut:
1.        Membaca setiap jawaban yang diberikan oleh siswa dan dibandingkan dengan kunci jawaban yang telah disusun
2.        Membubuhkan skor di sebelah kiri setiap jawaban. Ini dilakukan per nomor soal.
3.        Menjumlahkan skor-skor yang telah dituliskan pada setiap soal, dan terdapatlah skor untuk bagian soal yang berbentuk uraian.
Dengan cara kedua ini maka skor siswa tidak dibandingkan dengan jawaban yang paling lengkap yang diberikan oleh siswa lain, tetapi dibandingkan dengan jawaban lengkap yang dikehendaki dan sudah ditentukan oleh guru.

d.  Pembobotan Soal Bentuk Campuran
Dalam beberapa situasi bisa digunakan soal bentuk campuran, yaitu bentuk pilihan dan bentuk uraian. Pembobotan soal bagian soal bentuk pilihan ganda dan bentuk uraian ditentukan oleh cakupan materi dan kompleksitas jawaban atau tingkat berpikir yang terlibat dalam mengerjakan soal. Pada umumnya cakupan materi soal bentuk pilihan ganda lebih banyak, sedang tingkat berpikir yang terlibat dalam mengerjakan soal bentuk uraian biasanya lebih banyak dan lebih tinggi.
Suatu ulangan terdiri dari n1 soal pilihan ganda dan n2 soal uraian. Bobot untuk soal pilihan ganda adalah w1 dan bobot untuk soal uraian adalah w2. Jika seorang peserta didik menjawab benar n1 pilihan ganda, dan n2 soal uraian, maka peserta didik tersebut mendapat skor:

Contoh:
Suatu ulangan terdiri dari 20 bentuk pilihan ganda dengan 4 pilihan, dan 4 buah soal bentuk uraian. Titi dapat menjawab benar soal pilihan ganda 16 butir dan salah 4 butir, sedang bentuk uraian bisa dijawab benar 20 dari skor maksimum 40. Apabila bobot pilihan ganda adalah 0,40 dan bentuk uraian 0,60, maka skor yang diperoleh Titi dapat dihitung sebagai berikut.

a.    skor pilihan ganda tanpa koreksi jawaban dugaan : (16/20)x100 = 80
b.    skor bentuk uraian adalah : (20/40)x100 = 50
c.    skor akhir adalah : 0,4 x (80) + 0,6 x (50) = 62

e.     Penskoran Bentuk Soal Benar-Salah
       Pada tes dengan menggunakan instrumen soal benar-salah, testee (tercoba) hanya diminta melingkari huruf B atau S, sehingga kunci jawaban yang disediakan hanya berbentuk urutan nomor serta huruf dimana kita menghendaki untuk melingkari (atau dapat juga diberi tanda X).
Contoh:
1.    B                 6. S
2.    S                 7. B
3.    S                 8. S
4.    B                 9. S
5.    B                 10. B (dan seterusnya)
       Ada baiknya kunci jawaban ini ditentukan terlebih dahulu sebelum menyusun soalnya dengan tujuan sebagai berikut:
-       Dapat diketahui imbangan antara jawab B dan S
-       Dapat diketahui letak atau pola jawaban B dan S
       Bentuk betul-salah sebaiknya disusun sedemikian rupa sehingga jumlah jawaban B hampir sama banyaknya dengan jawaban S, dan tidak dapat ditebak karena tidak diketahui pola jawabannya. Dalam menentukan angka (skor) untuk tes bentuk B-S ini kita dapat menggunakan 2 (dua) cara, yaitu tanpa hukuman atau tanpa denda adalah apabila banyaknya angka yang diperoleh siswa sebanyak jawaban yang cocok dengan kunci dan dengan hukuman atau dengan denda
Dengan hukuman yaitu apabila terdapat keraguan adanya unsur tebakan.
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
-          Pertama dengan rumus, 

dimana, S: Score         R: Right          W: Wrong
Skor yang diperoleh siswa sebanyak jumlah soal yang benar dikurangi dengan jumlah soal yang salah.
Contoh:
·           Banyak soal = 10
·           Jawaban benar = 8
·           Jawaban salah = 2 buah
·           Angkanya adalah 8-2 = 6

-          Kedua dengan rumus, 

Dimana, T adalah singkatan dari Total, artinya jumlah soal dalam tes.
Contoh:
·           Banyaknya soal = 10 buah
·           Jawaban salah = 2 buah
·           Angkanya adalah 


f.     Pemberian Skor Bentuk Soal Jawab Singkat (Short Answer Test)
       Tes bentuk jawab singkat adalah bentuk tes yang menghendaki jawaban berbetuk kata atau kalimat pendek. Melihat namanya, maka jawaban untuk tes tersebut tidak boleh berbentuk kalimat-kalimat panjang, tetapi harus sesingkat mungkin dan mengandung satu pengertian. Dengan persyaratan inilah maka bentuk tes ini dapat digolongkan ke dalam bentuk tes objektif.
Tes bentuk isian, dianggap setaraf dengan tes jawab singkat ini, kunci jawaban tes bentuk ini merupakan deretan jawaban sesuai dengan nomornya.
Contoh:
1.        Berat jenis
2.        Mengembun
3.        Komunitas
4.        Populasi
5.        Energi
       Pemberian skor pada bentuk tes ini adalah dengan mengingat jawaban yang hanya satu pengertian saja, maka angka bagi tiap nomor soal mudah ditebak. Usaha yang dikeluarkan oleh siswa sedikit, tetapi lebih sulit daripada tes bentuk benar-salah atau bentuk pilihan ganda. Sebaiknya tiap soal diberi angka 2 (dua). Dapat juga angka itu kita samakan dengan angka pada bentuk benar-salah atau bentuk pilihan ganda jika memang jawaban yang diharapkannya ringan atau mudah. Tetapi sebaliknya apabila jawabannya bervariasi misalnya lengkap sekali, lengkap dan kurang lengkap, maka angkanya dapat dibuat bervariasi pula misalnya 2; 1,5; dan 1.



g.    Pemberian Skor Bentuk Soal Menjodohkan (Matching)
       Pada dasarnya tes bentuk menjodohkan adalah tes bentuk pilihan ganda, dimana jawaban-jawaban dijadikan satu, demikian pula pertanyaan-pertanyaannya. Dengan demikian, maka pilihan jawabannya akan lebih banyak. Satu kesulitan lagi adalah bahwa jawaban yang dipilih dibuat sedemikian rupa sehingga jawaban yang satu tidak diperlukan lagi untuk pertanyaan lain.
Kunci jawaban tes bentuk menjodohkan dapat berbentuk deretan jawaban yang dikehendaki atau deretan nomor yang diikuti oleh huruf-huruf yang terdapat di depan alternatif jawaban.
Contoh:
1.        Tahun 1922 atau 1. F
2.        Imam bonjol atau 2. C
3.        Perang padri atau 3. H
4.        Teuku umar atau 4. A
5.        P. Diponegoro atau 5. B
       Telah dijelaskan bahwa tes bentuk menjodohkan adalah tes bentuk pilihan ganda yang lebih kompleks. Maka angka yang diberikan sebagai imbalan juga harus lebih banyak. Sebagai acuan dapat ditentukan bahwa angka untuk tiap nomor adalah 2 (dua).

h.    Pemberian Skor Pada Tugas
       Kunci jawaban untuk memeriksa tugas merupakan pokok-pokok yang harus termuat di dalam pekerjaan siswa. Hal ini menyangkut kriteria tentang isi tugas. Namun sebagai kelengkapan dalam pemberian skor, digunakan suatu tolak ukur tertentu.
       Tolak ukur yang disarankan ini digunakan sebagai ukuran keberhasilan tugas adalah sebagai berikut:
1.        Ketepatan waktu penyerahan tugas
2.        Bentuk fisik pengerjaan tugas yang menandakan keseriusan siswa dalam mengerjakan tugas
3.        Sistematika yang menunjukkan alur keruntutan berfikir
4.        Kelengkapan isi menyangkut ketuntasan penyelesaian dan kepadatan isi
5.        Mutu hasil tugas, yaitu kesesuaian hasil dengan garis-garis yang sudah ditentukan oleh guru
       Dalam mempertimbangkan nilai akhir perlu dipikirkan peranan masing-masing aspek kriteria tersebut, misalnya:
A1  - ketepatan waktu, diberikan bobot 2
A2  - bentuk fisik, diberi bobot 1
A3  - sistematika, diberi bobot 3
A4  - kelengkapan isi, diberi bobot 3
A5  - mutu hasil, diberi bobot 3
Maka nilai akhir untuk tugas tersebut diberikan dengan rumus:





2.3 Pemberian Skor Tes Pada Domain Afektif
       Domain afektif ikut menentukan keberhasilan belajar peserta didik. Sedikitnya terdapat 2 (dua) komponen dalam domain afektif yang penting untuk diukur, yaitu sikap dan minat terhadap suatu pelajaran. Sikap peserta didik terhadap pelajaran bisa positif bisa negatif atau netral. Tentu diharapkan sikap peserta didik terhadap semua mata pelajaran positif sehingga akan timbul minat untuk belajar atau mempelajarinya. Peserta didik yang memiliki minat pada pelajaran tertentu bisa diharapkan prestasi belajarnya akan meningkat secara optimal, bagi yang tidak berminat sulit untuk meningkatkan prestasi belajarnya. Oleh karena itu, guru memiliki tugas untuk membangkitkan minat kemudian meningkatkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran yang diampunya. Dengan demikian akan terjadi usaha yang sinergi untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran.
       Langkah pembuatan instrumen domain afektif termasuk sikap dan minat adalah sebagai berikut:
a.    Pilih ranah afektif yang akan dinilai, misalnya sikap atau minat.
b.    Tentukan indikator minat: misalnya kehadiran di kelas, banyak bertanya, tepat waktu mengumpulkan tugas, catatan di buku rapi, dan sebagainya. Hal ini selanjutnya ditanyakan pada peserta didik.
c.    Pilih tipe skala yang digunakan, misalnya Likert dengan 5 skala: sangat berminat, berminat, sama saja, kurang berminat, dan tidak berminat.
d.   Telaah instrumen oleh sejawat.
e.    Perbaiki instrumen.
f.     Siapkan kuesioner atau inventori laporan diri.
g.    Skor inventori.
h.    Analisis hasil inventori skala minat dan skala sikap.

Contoh:
Instrumen untuk mengukur minat peserta didik yang telah berhasil dibuat ada 10 butir. Jika rentangan yang dipakai adalah 1 sampai 5, maka skor terendah seorang peserta didik adalah 10, yakni dari 10 x 1 dan skor tertinggi sebesar 50, yakni dari 10 x 5. Dengan demikian, mediannya adalah (10 + 50)/2 atau sebesar 30. jika dibagi menjadi 4 kategori, maka skala 10-20 termasuk tidak berminat, 21 sampai 30 kurang berminat, 31 – 40 berminat, dan skala 41 – 50 sangat berminat.

2.4 Pemberian Skor Tes pada Domain Psikomotor
       a. Penyusunan Tes Psikomotor
       Tes untuk mengukur ranah psikomotor adalah tes untuk mengukur penampilan atau kinerja (performance) yang telah dikuasai peserta didik. Tes tersebut menurut Lunetta dkk. (1981) dalam Majid (2007) dapat berupa tes paper and pencil, tes identifikasi, tes simulasi, dan tes unjuk kerja.
       Skala penilaian cocok untuk menghadapi subjek yang jumlahnya sedikit. Perbuatan yang diukur menggunakan alat ukur berupa skala penilaian terentang dari sangat tidak sempurna sampai sangat sempurna. Jika dibuat skala 5, maka skala 1 paling tidak sempurna dan skala 5 paling sempurna.
       Misal dilakukan pengukuran terhadap keterampilan peserta didik menggunakan thermometer badan. Untuk itu dicari indikator-indikator apa saja yang menunjukkan peserta didik terampil menggunakan thermometer tersebut, misal indikator-indikator sebagai berikut:
1)        Cara mengeluarkan termometer dari tempatnya.
2)        Cara menurunkan posisi air raksa serendah-rendahnya.
3)        Cara memasang termometer pada tubuh orang yang diukur suhunya.
4)        Lama waktu pemasangan termometer pada tubuh orang yang diukur suhunya.
5)        Cara mengambil termometer dari tubuh orang yang diukur suhunya.
6)        Cara membaca tinggi air raksa dalam pipa kapiler termometer.

       Dari contoh cara pengukuran suhu badan menggunakan skala penilaian, ada 6 butir soal yang dipakai untuk mengukur kemampuan seorang peserta didik jika untuk butir 1 peserta didik yang bersangkutan memperoleh skor 5 berarti sempurna/benar, butir 2 memperoleh skor 4 berarti benar tetapi kurang sempurna, butir 3 memperoleh skor 4 berarti juga benar tetapi kurang sempurna, butir 4 memperoleh skor 3 berarti kurang benar, butir 5 memperoleh skor 3 berarti kurang benar, dan butir 6 juga memperoleh skor 3 berarti kurang benar, maka total skor yang dicapai peserta didik tersebut adalah (5 + 4 + 4 + 3 + 3 + 3) atau 22. Seorang peserta didik yang gagal akan memperoleh skor 6, dan yang berhasil melakukan dengan sempurna memperoleh skor 30; maka median skornya adalah (6 + 30)/2 = 18. Jika dibagi menjadi 4 kategori, maka yang memperoleh skor 6 – 12 dinyatakan gagal, skor 13 – 18 berarti kurang berhasil, skor 19 – 24 dinyatakan berhasil, dan skor 25 – 30 dinyatakan sangat berhasil. Dengan demikian peserta didik dengan skor 21 dapat dinyatakan sudah berhasil tetapi belum sempurna/belum sepenuhnya baik jika sifat keterampilannya adalah absolut, maka setiap butir harus dicapai dengan sempurna (skala 5). Dengan demikian hanya peserta didik yang memperoleh skor total 30 yang dinyatakan berhasil dan dengan kategori sempurna.
Tabel 6.4. Kisi-kisi soal ujian bisa sebagai berikut


2.5 Hambatan Dan Solusi Dalam Pemberian Skor
       Adakalanya guru dituntut untuk memberikan nilai terhadap prestasi belajar siswa tanpa memberikan skor terlebih dahulu. Misalnya, pada waktu ujian lisan. Apabila nilai ujian diberikan terhadap setiap butir pertanyaan, maka akan cukup memadahi. Tetapi hal yang perlu diperhatikan adalah munculnya unsur subjektifitas sehingga guru seringkali melakukan hal-hal diluar keadilan.
       Contohnya adalah guru yang berkali-kali menunjukkan kepuasannya terhadap hasil belajar siswa dan bagaimana guru tersebut mempertahankan seorang siswa. Subjektifitas tidak hanya berimplikasi pada kredibilitas nilai yang dihasilkan saja tetapi juga berdampak pada kriteria dalam pengukuran tingkat pencapain hasil belajar yang dimaksud.
       Dalam menentukan nilai terhadap tiap-tiap aspek ini pun kita dituntut untuk memberikan pertimbangan yang didasari oleh kebijaksanaan. Sebenarnya guru dapat mengambil beberapa langkah sebagai dasar untuk meminimalisir kesulitan objektifitas penilaian tersebut yaitu dengan cara sebagai berikut:
1)        Bertitik tolak dari batas bawah, yaitu berpikir pekerjaan yang jelek diberi nilai berapa, kemudian membandingkan hasil pekerjaan yang kita hadapi dengan nilai batas bawah tersebut. Dari batas bawah ini kita memberikan tambahn nilai sebanyak jarak antara nilai batas bawah dengan pekerjaan siswa. Jadi, kita berangkar dari bawah, lalu naik ke atas. Menurut pengalaman, oemberian nilai dengan cara ini cenderung menghasilkan nilai rendah.
2)        Bertitik tolak dari plafon atau batas atas. Dengan cara ini kita berpikir mengenai kesempurnaan pekerjaa, tetapi diukur menurut ukuran siswa, bukan diukur dengan kemampuan guru. Selanjutnya berangkat dari nilai batas atas tersebut kita kurangkan sedikit-sedikit sejauh kesenjangan antara nilai batas dengan pekerjaan siswa yang dihadapi. Jadi, kita berangkat dari atas kemudian turun ke bawah. Menurut pengalaman, pemberian nilai dengan cara ini cenderung menghasilkan nilai yang tinggi.
Cara-cara seperti diatas dapat juga diterapkan untuk menilai tugas-tugas yang sifatnya relatif dan cenderung menimbulkan subjektifitas.

  
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Secara umum faktor yang mempengaruhi skor adalah hal yang permanen dalam diri siswa, hal yang temporer dalam diri siswa, penyelenggaraan, dan hal yang tidak pernah diperhitungkan lainnya. Tes objektif menganut prinsip penskoran dikotomi, benar diberi angka 1 dan salah diberi angka 0. Sedangkan, tes subjektif menganut prinsip penskoran politomi,benar diberi angka 1 dan salah tidak diberi angka 0.
Penskoran adalah pembuatan skor hasil tes prestasi peserta didik berdasarkan model tipe soal dan pembobotannya pada suatu perangkat tes, umumnya hasil penskoran dirupakan dalam bentuk angka.
Untuk bentuk soal tes objektif bisa digunakan rumus yang masing- masing telah di tentukan.
Cara menskor soal-soal essay sebaiknya menilai dari ukuran hasil belajar yang sedang diukur, lalu mengevaluasi semua jawaban-jawaban siswa soal demi soal tanpa mengetahui identitas atau nama murid yang mengerjakan jawaban tersebut.
Dalam membuat penskoran dan pembobotan butir soal suatu tes, maka yang harus diperhatikan adalah tingkatan dalam setiap domain (kognitif, afektif, dan psikomotor). Bentuk perangkat tes yang baik adalah tes yang butir-butir soalnya disusun dengan memperhatikan komponen-komponen tingkatan dalam suatu domain dan tersusun lebih dari satu bentuk tes.
Sebelum atau selama pembuatan soal tes, guru harus merencanakan bentuk-bentuk penskoran yang akan diberlakukan. Hal ini akan dapat membantu guru dalam melaksanakan prinsip objektif dan metodik dalam kegiatan penskoran sehingga tidak terkesan asal memberi skor. Hasil penskoran yang terencana akan memudahkan kegiatan berikutnya dalam penilaian, yaitu mengkonversi skor hasil belajar menjadi skor prestasi atau nilai standar.

3.2 Saran

Sebagai seorang guru dituntut untuk memiliki kompetensi yang profesional dalam memberikan skor atau nilai kepada siswa. Hal ini perlu diperhatikan oleh guru karena hasil dari skoring memiliki implikasi yang luas dan kompleks, tidak hanya pada siswa tetapi juga pihak-pihak yang berkepentingan terhadap nilai tersebut. Maka dari itu, guru harus memiliki pengetahuan yang cukup dan ketrampilan yang profesional dalam memberikan penilaian terhadap hasil belajar siswa sehingga dapat benar-benar merepresentasikan capaian hasil belajar siswa. 




DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, Suhasimi.2011.Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan.Ed.Revisi, Cet.12. Jakarta: Bumi     Aksara.
Purwanto, Ngalim. 2009. Prinsip-prinsip dan Tehnik Evaluasi Pembelajaran.Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Reksaayu, Sagitri. 2012. (Online), (http://sagitrikuntireksaayu.blogspot.com/2012/05/pemberian-skor-verifikasi-dan-standar.html), diakses 17 Maret 2015.

3 comments:

  1. Pensekoran beda bobot itu rumit contoh, jawaban untuk soal evaluasi 6, kalau salah adalah 0, betapa ruginya..

    ReplyDelete
  2. bgmna menentukkan bobotny? sy memiliki 30 nomor, di dalamnya ada 10 nomor pilihan ganda, 5 nomor essay, 5 nomor isian dan 10 nomor soal mencocokan. Nilai akhirnya di peroleh seperti apa?

    ReplyDelete