BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Bentuk kegiatan tindak lanjut
dari tes yang telah dilakukan terhadap siswa adalah memberikan skor pada setiap
lembar jawaban siswa. Kegiatan ini harus dilakukan dengan cermat karena menjadi
dasar bagi kegiatan pengolahan hasil tes sampai menjadi nilai prestasi. Sebelum
melakukan tes, hal yang
harus disiapkan adalah menyusun teknik pemberian skor (penskoran) dan strategi pemberian skor sejak
perumusan kalimat pada setiap butir soal.
Pada kegiatan belajar ini akan disajikan pemberian
skor pada tes domain kognitif, afektif, dan psikomotor sesuai dengan pedoman
yang telah dikeluarkan oleh Diknas (2004) yang telah dimodifikasi. Membuat
pedoman penskoran sangat diperlukan, terutama untuk soal bentuk uraian dalam
tes domain kognitif supaya subjektivitas guru dalam memberikan skor dapat diminimalisir. Pedoman menyusun skor juga akan
sangat penting ketika melakukan tes domain afektif dan psikomotor peserta
didik, karena sejak tes belum dimulai, guru harus mampu menentukan
ukuran-ukuran sikap dan pilihan tindakan dari peserta didik dalam menguasai
kompetensi yang dipersyaratkan.
Pada makalah ini, kita akan mempelajari teknik
pemberian skor (penskoran) baik pada
domain/ ranah kogntig, afektif, maupun psikomotorik sehingga guru diharapkan
memiliki pengetahuan dan kapabilitas untuk memberi skor pada berbagai soal
metode tes.
1.2 Rumusan
masalah
1. Bagaimana konsep skoring itu?
2. Apa arti penting skoring
bagi kegiatan evaluasi hasil belajar?
3. Bagaimana teknik skoring
untuk domain kognitif?
4. Bagaimana teknik skoring
untuk domain afektif?
5. Bagaimana teknik skoring
untuk domain psikomotorik?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Penilaian Dan Penskoran
A. Definisi Penskoran
Pada hakikatnya pemberian skor (scoring) adalah proses pengubahan jawaban instrumen menjadi
angka-angka yang merupakan nilai kuantitatif dari suatu jawaban terhadap item
dalam instrumen. Angka-angka hasil penilaian selanjutnya diproses menjadi
nilai-nilai (grade). Skor adalah
hasil pekerjaan menyekor (memberikan angka) yang diperoleh dari angka-angka
dari setiap butir soal yang telah di jawab dengan benar, dengan mempertimbangkan
bobot jawaban yang benar.
Maka dapat
disimpulkan bahwa Penskoran (skoring)
adalah suatu proses pengubahan jawaban-jawaban tes menjadi angka-angka.
Skor adalah hasil pekerjaan menskor yang diperoleh dengan menjumlahkan
angka-angka bagi setiap soal tes yang dijawab dengan benar oleh siswa. Skor maksimum tidak selalu tetap, karena
ditentukan berdasarkan atas banyak serta bobot soal-soal tesnya.
Dalam menskor atau menentukan angka, dapat digunakan 3 macam alat bantu
yaitu :
1.
Pembantu menentukan jawaban yang
benar, disebut kunci jawaban
2.
Pembantu menyeleksi jawaban yang
benar dan yang salah, disebut kunci skoring
3.
Pembantu menentukan angka, disebut
pedoman penilaian
Adapun pada umumnya, pengolahan data hasil tes
menggunakan bantuan statistik. Menurut Zainal Arifin (2006) dalam pengolahan
data hasil tes menggunakan empat langkah pokok yang harus di tempuh.
1.
Menskor, yaitu memperoleh skor
mentah daritiga jenis alat bantu, yaitu kunci jawaban kunci scoring dan pedoman
konversi.
2.
Mengubah skor mentah menjadi skor
standar
3.
Menkonversikan skor standar kedalam
nilai
4.
Melakukan analisis soal (jika
diperlukan) untuk mengetahui derajat validitas dan realibilitas soal, tingkat
kesukaran soal (difficulty index) dan
daya pembeda.
B. Perbedaan
Antara Skor Dan Nilai
Dewasa ini banyak diantara
para guru sendiri yang masih rancu mengenai definisi dari skor dan nilai. Skor
adalah hasil pekerjaan menskor yang diperoleh dengan menjumlahkan angka-angka
bagi setiap soal tes yang dijawab benar oleh siswa. Sedangkan nilai adalah
angka ubahan dari skor dengan menggunakan acuan tertentu, yakni acuan normal
atau acuan standar. Pengubahan skor menjadi nilai dapat dilakukan untuk skor
tunggal, misalnya sesudah memperoleh skor ulangan harian atau unutk skor
gabungan dari beberapa ulangan dalam rangka memperoleh nilai akhir untuk rapor.
Secara rinci skor dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu skor yang diperoleh
(obtained score) dan skor sebenarnya (true score).
Skor yang diperoleh (obtained score) adalah sejumlah angka
yang dimiliki oleh testee sebagai hasil mengerjakan tes. Kelemahan-kelemahan
butir tes, situasi yang tidak mendukung, kecemasan, dan lain-lain faktor dapat
berakibat terhadap skor yang diperoleh ini. Apabila faktor-faktor yang berpengaruh
ini muncul, baik sebagian ataupun menyeluruh, penilai tidak dapat mengira-ngira
seberapa cermat skor yang diperoleh siswa ini mampu mencerminkan pengetahuan
dan keterampilan siswa yang sesungguhnya.
Skor sebenarnya (true score) seringkali juga disebut
dengan istilah skor univers atau skor alam (universe skor), adalah nilai
hipotesis yang sangat tergantung dari perbedaan individu berkenaan dengan
pengetahuan yang dimiliki secara tetap. Sebagai contoh adalah apabila seseorang
diminta untuk mengerjakan sebuah tes berulang-ulang, maka rata-rata dari hasil
tersebut menggambarkan resultan dari variasi hasil yang tidak ajeg. Inilah
gambaran mengenai skor sebenarnya. Akan tetapi di dalam praktek tentu tidak
mungkin bahwa penilai meminta kepada testee untuk mengerjakan sebuah tes secara
berulang-ulang. Gambaran ini hanya untuk menunjukkan contoh saja dalam
menjelaskan pengertian skor sebenarnya.
C. Skala
penskoring
1. Skala 0 – 10
Dalam penggunaan skala 10, skor aktual siswa
ditransfer ke dalam 10 kelompok nilai, yaitu: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,
dan 10. Skala 10 ini dipakai di sekolah sesuai dengan anjuran pada kurikulum
1975, bahwa seorang siswa yang sudah belajar tidak mungkin pengetahuannya tidak
bertambah, apalagi berkurang. Oleh karena itu, nilai 0 (nol)
ditiadakan. sehingga memungkinkan bagi guru untuk penilaian yang lebih
halus. Dalam skala 1-10, guru jarang memberikan angka pecahan, misalnya 5,5.
Angka 5,5 tersebut kemudian dibulatkan menjadi 6. Dengan demikian maka
rentangan angka 5,5 sampai dengan 6,4 (selisih hampir 1) akan keluar di rapor
dalam satu wajah, yaitu angka 6.
2. Skala 0 – 100
Memang diseyogyakan bahwa angka itu merupakan bilangan
bulat. Dengan menggunakan skala 1-10 maka bilangan bulat yang ada masih
menunjukkan penilaian yang agak kasar. Untuk itulah maka dengan menggunakan
skala 1-100, dimungkinkan melakukan penilaian yang lebih halus karena terdapat
100 bilangan bulat. Nilai 5,5 dan 6,4 dalam skala 1-10 yang biasanya dibulatkan
menjadi 6, dalam akala 1-100 ini boleh dituliskan dengan 55 dan 64. Nilai dengan menggunakan skala 100 disebut
skor T yang bergerak pada interval 0 sampai dengan 100. Nilai dengan
menggunakan skala 100 ini didasari oleh nilai z.
3. Skala baku
(skor Z dan skor T )
Skala baku (standar) disebut juga skala z, dan
nilainya disebut nilai baku atau nilai z. Dasarnya adalah kurva normal baku
yang memiliki nilai rerata = 0 dan simpangan
baku s = 1.
4. Skala Huruf (skala lima)
Skala lima disebut juga dengan skala huruf karena
nilai akhir tidak dinyatakan dengan angka (bilangan), malainkan dengan huruf A,
B, C, D, dan E. Beberapa pakar evaluasi pendidikan ada pula yang menggunakan
huruf F (failure) atau huruf G (gagal) sebagai pengganti nilai E.
2.2 Pemberian
Skor Tes pada Domain Kognitif
a. Penskoran Soal Bentuk Pilihan
Ganda
Cara penskoran tes bentuk pilihan ganda ada tiga
macam, yaitu: pertama penskoran tanpa ada koreksi jawaban, penskoran ada
koreksi jawaban, dan penskoran dengan butir beda bobot.
1)
Penskoran tanpa
koreksi, yaitu penskoran dengan cara setiap butir soal yang
dijawab benar mendapat nilai satu (tergantung dari bobot butir soal), sehingga
jumlah skor yang diperoleh peserta didik adalah dengan menghitung banyaknya
butir soal yang dijawab benar. Rumusnya sebagai berikut.
B = banyaknya
butir yang dijawab benar
N = adalah
banyaknya butir soal
Contohnya
adalah sebagai berikut :
Pada suatu soal tes ada 50 butir, Budi menjawab benar
25 butir, maka skor yang dicapai Budi adalah:
2)
Penskoran ada
koreksi jawaban, yaitu
pemberian skor dengan memberikan pertimbangan pada butir soal yang dijawab
salah dan tidak dijawab, adapun rumusnya
adalah sebagai berikut:
B: Banyaknya
soal yang dijawab benar
S: Banyaknya
soal yang dijawab salah
P: Banyaknya
pilihan jawaban tiap butir
N: Banyaknya
butir soal
Contoh :
Pada soal bentuk pilihan ganda yang terdiri dari
40 butir soal dengan 4 pilihan tiap butir dan banyaknya 40 butir, Amir dapat
menjawab benar 20 butir, menjawab salah 12 butir dan tidak dijawab ada 8 butir,
maka skor yang diperoleh Amir adalah:
3)
Penskoran
dengan butir beda bobot, yaitu pemberian skor dengan
memberikan bobot berbeda pada sekelompok butir soal. Biasanya bobot butir soal
menyesuaikan dengan tingkatan kognitif (pengetahuan, pemahaman, penerapan,
analisis, sintesis, dan evaluasi) yang telah dikontrak guru. Anda juga dapat
membedakan bobot butir soal dengan cara lain, misalnya ada sekelompok butir
soal yang dikembangkan dari buku pegangan guru dan sekelompok yang lain dari
luar buku pegangan diberi bobot berbeda, yang pertama satu, yang lain dua.
Adapun rumusnya sebagai berikut.
Bi = banyaknya butir soal yang dijawab
benar peserta tes
bi = bobot setiap butir soal
St =
skor teoritis (skor bila menjawab benar semua butir soal)
Contoh:
Pada suatu soal tes matapelajaran IPA berjumlah 40
butir yang terdiri dari enam tingkat domain kognitif diberi bobot sebagai
berikut: pengetahuan bobot 1, pemahaman 2, penerapan 3, analisis 4, sintesis 5,
dan evaluasi 6.
Yoyok dapat menjawab benar 8 butir soal domain
pengetahuan dari 12 butir, 12 butir dari 20 butir soal pehamanan, 2 butir soal
penerapan dari 4 butir, 1 butir soal analisis dari 2 butir, dan 1 butir soal
sintesis dan evaluasi masing-masing 1 butir. Berapakah skor yang diperoleh
Yoyok?
Untuk
mempermudah memberi skor disusun Tabel 6.1. sebagai berikut.
Tabel 6.1.
Contoh Pemberian Skor
Jadi skor yang
diperoleh Yoyok adalah 63,9%, artinya Yoyok dapat menguasai tes matapelajaran
IPA sebesar 63,9%
b.
Penskoran Soal Bentuk Uraian Objektif
Pada bentuk soal uraian objektif, biasanya
langkah-langkah mengerjakan dianggap sebagai indikator kompetensi para peserta
didik. Oleh sebab itu, sebagai pedoman penskoran dalam soal bentuk uraian
objektif adalah bagaimana langkah-langkah mengerjakan dapat dimunculkan atau
dikuasai oleh peserta didik dalam lembar jawabannya.
Untuk membuat pedoman penskoran, sebaiknya melihat
kembali rencana kegiatan pembelajaran untuk mengidentifikasi
indikator-indikator tersebut. Perhatikan contoh berikut.
Indikator : Peserta didik dapat menghitung isi bangun ruang (balok) dan mengubah satuan
ukurannya.
Butir soal :
Sebuah bak mandi berbentuk balok berukuran panjang 150
cm, lebar 80 cm, dan tinggi 75 cm. Berapa literkah isi bak mandi tersebut?
(untuk menjawabnya tuliskan langkah-langkahnya!)
Tabel 6.2. Pedoman penskoran uraian objektif
c. Penskoran Soal Bentuk Uraian Non-Objektif
Prinsip penskoran soal bentuk uraian non-objektif sama
dengan bentuk uraian objektif yaitu menentukan indikator kompetensinya.
Perhatikan contoh berikut.
Indikator: Peserta didik dapat mendeskripsikan alasan Warga Negara Indonesia bangga
menjadi Bangsa Indonesia.
Butir soal: Tuliskan alasan-alasan yang membuat
Anda bangga sebagai Bangsa Indonesia!
Pedoman
penskoran:
Jawaban boleh bermacam-macam namun pada pokok jawaban
tadi dapat dikelompokkan sebagai berikut.
Tabel 6.3. Contoh Pedoman Penskoran
Tidak ada jawaban yang pasti
terhadap tes bentuk uraian ini. Jawaban yang diperoleh akan sangat beraneka
ragam. Untuk menentukan standar lebih dahulu, tentulah sukar. Sebagai upaya
untuk meminimalisir hambatan tersebut adalah dengan mengikuti beberapa
langkah-langkah berikut yang harus dilakukan guru pada waktu mengoreksi dan
memberi angka tes bentuk uraian. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah
sebagai berikut:
1.
Membaca soal
pertama dari seluruh siswa untuk mengetahui situasi jawaban. Dengan membaca
seluruh jawaban, guru dapat memperoleh gambaran lengkap tidaknya jawaban yang
diberikan siswa secara keseluruhan.
2.
Menentukan
angka untuk soal pertama tersebut. Misalnya, jika jawabannya lengkap diberi
angka 5, kurang sedikit diberi angka 4, begitu seterusnya sampai kepada jawaban
yang paling rendah. Dalam menentukan angka pada hal yang terakhir ini umumnya
kita perlu berpikir bahwa tidak ada unsur tebakan. Dengan demikian ada dua
pendapat, satu pendapat menentukan angka 1 atau 2 bagi jawaban yang salah,
tetapi pendapat lain menentukan angka 0 untuk jawaban itu. Tentu saja bagi jawaban
yang kosong (tidak ada jawaban sama sekali), jelas diberikan angka 0.
3.
Memberikan
angka bagi soal pertama
4.
Membaca soal
kedua dari seluruh siswa untuk mengetahui situasi jawaban, dilanjutkan dengan
pemberian angka untuk soal kedua.
5.
Mengulangi
langkah-langkah tersebut untuk tes soal berikutnya, dan seterusnya hingga
seluruh soal diberi angka.
6.
Menjumlahkan
angka-angka yang diperoleh oleh masing-masing siswa untuk tes bentuk uraian.
Setelah mempelajari hal-hal
tersebut, dapat kita simpulkan bahwa dengan membaca terlebih dahulu seluruh
jawaban yang diberikan oleh siswa, kita menjadi tahu bahwa mungkin tidak ada
seorang pun dari siswa yang menjawab dengan betul untuk sesuatu nomor soal.
Menghadapi situasi seperti
ini, kita gunakan cara pemberian angka yang relatif. Misalnya, untuk sesuatu
nomor soal jawaban yang paling lengkap hanya mengandung 3 unsur, padahal kita
menghendaki 5 unsur, maka kepada jawaban yang paling lengkap itulah kita
berikan angka 5, sedangkan untuk yang menjawab hanya 2 atau 1 unsur, kita beri
angka lebih sedikit, yaitu misalnya 3,5; 2; 1,5 dan seterusnya.
Dengan cara ini maka pemberian
angka pada tes bentuk uraian tidak akan dapat konsisten atau tetap dari kelas
ke kelas atau dari tahun ke tahun.
Uraian penjelasan di atas ini
adalah cara memberikan angka dengan menggunakan atau mendasarkan pada norma
kelompok (norm referenced test).
Apabila dalam memberikan angka menggunakan atau mendasarkan pada standar mutlak
(criterion referenced test), maka
langkah-langkah yang dilakukan akan berbeda. Hal-hal yang harus diperhatikan
ulang adalah sebagai berikut:
1.
Membaca
setiap jawaban yang diberikan oleh siswa dan dibandingkan dengan kunci jawaban
yang telah disusun
2.
Membubuhkan
skor di sebelah kiri setiap jawaban. Ini dilakukan per nomor soal.
3.
Menjumlahkan
skor-skor yang telah dituliskan pada setiap soal, dan terdapatlah skor untuk
bagian soal yang berbentuk uraian.
Dengan cara kedua ini maka
skor siswa tidak dibandingkan dengan jawaban yang paling lengkap yang diberikan
oleh siswa lain, tetapi dibandingkan dengan jawaban lengkap yang dikehendaki
dan sudah ditentukan oleh guru.
d. Pembobotan Soal Bentuk Campuran
Dalam beberapa situasi bisa digunakan soal bentuk
campuran, yaitu bentuk pilihan dan bentuk uraian. Pembobotan soal bagian soal
bentuk pilihan ganda dan bentuk uraian ditentukan oleh cakupan materi dan
kompleksitas jawaban atau tingkat berpikir yang terlibat dalam mengerjakan
soal. Pada umumnya cakupan materi soal bentuk pilihan ganda lebih banyak,
sedang tingkat berpikir yang terlibat dalam mengerjakan
soal bentuk uraian biasanya lebih banyak dan lebih tinggi.
Suatu ulangan terdiri dari n1 soal pilihan ganda dan
n2 soal uraian. Bobot untuk soal pilihan ganda adalah w1 dan bobot untuk soal
uraian adalah w2. Jika seorang peserta didik menjawab benar n1 pilihan ganda,
dan n2 soal uraian, maka peserta
didik tersebut mendapat skor:
Contoh:
Suatu ulangan terdiri dari 20 bentuk pilihan ganda
dengan 4 pilihan, dan 4 buah soal bentuk uraian. Titi dapat menjawab benar soal
pilihan ganda 16 butir dan salah 4 butir, sedang bentuk uraian bisa dijawab
benar 20 dari skor maksimum 40. Apabila bobot pilihan ganda adalah 0,40 dan
bentuk uraian 0,60, maka skor yang diperoleh Titi dapat dihitung sebagai
berikut.
a.
skor pilihan ganda tanpa koreksi
jawaban dugaan : (16/20)x100 = 80
b.
skor bentuk uraian adalah :
(20/40)x100 = 50
c.
skor akhir adalah : 0,4 x (80) + 0,6
x (50) = 62
e.
Penskoran Bentuk Soal Benar-Salah
Pada tes dengan menggunakan instrumen
soal benar-salah, testee (tercoba) hanya diminta melingkari huruf B atau S,
sehingga kunci jawaban yang disediakan hanya berbentuk urutan nomor serta huruf
dimana kita menghendaki untuk melingkari (atau dapat juga diberi tanda X).
Contoh:
1.
B 6. S
2.
S 7. B
3.
S 8. S
4.
B 9. S
5.
B 10. B (dan seterusnya)
Ada baiknya kunci jawaban ini ditentukan
terlebih dahulu sebelum menyusun soalnya dengan tujuan sebagai berikut:
-
Dapat
diketahui imbangan antara jawab B dan S
-
Dapat
diketahui letak atau pola jawaban B dan S
Bentuk betul-salah sebaiknya disusun
sedemikian rupa sehingga jumlah jawaban B hampir sama banyaknya dengan jawaban
S, dan tidak dapat ditebak karena tidak diketahui pola jawabannya. Dalam
menentukan angka (skor) untuk tes bentuk B-S ini kita dapat menggunakan 2 (dua)
cara, yaitu tanpa hukuman atau tanpa denda adalah apabila banyaknya angka yang
diperoleh siswa sebanyak jawaban yang cocok dengan kunci dan dengan hukuman
atau dengan denda
Dengan hukuman yaitu apabila terdapat keraguan
adanya unsur tebakan.
Rumus yang digunakan adalah
sebagai berikut:
-
Pertama dengan rumus,
dimana, S: Score R: Right W: Wrong
Skor yang diperoleh siswa
sebanyak jumlah soal yang benar dikurangi dengan jumlah soal yang salah.
Contoh:
·
Banyak soal
= 10
·
Jawaban
benar = 8
·
Jawaban
salah = 2 buah
·
Angkanya
adalah 8-2 = 6
-
Kedua dengan rumus,
Dimana, T adalah singkatan
dari Total, artinya jumlah soal dalam tes.
Contoh:
·
Banyaknya
soal = 10 buah
·
Jawaban
salah = 2 buah
·
Angkanya
adalah
f.
Pemberian Skor Bentuk Soal Jawab Singkat (Short Answer Test)
Tes bentuk jawab singkat adalah bentuk tes yang menghendaki
jawaban berbetuk kata atau kalimat pendek. Melihat namanya, maka jawaban untuk
tes tersebut tidak boleh berbentuk kalimat-kalimat panjang, tetapi harus
sesingkat mungkin dan mengandung satu pengertian. Dengan persyaratan inilah maka
bentuk tes ini dapat digolongkan ke dalam bentuk tes objektif.
Tes bentuk isian, dianggap
setaraf dengan tes jawab singkat ini, kunci jawaban tes bentuk ini merupakan
deretan jawaban sesuai dengan nomornya.
Contoh:
1.
Berat jenis
2.
Mengembun
3.
Komunitas
4.
Populasi
5.
Energi
Pemberian skor pada bentuk tes ini adalah dengan mengingat
jawaban yang hanya satu pengertian saja, maka angka bagi tiap nomor soal mudah
ditebak. Usaha yang dikeluarkan oleh siswa sedikit, tetapi lebih sulit daripada
tes bentuk benar-salah atau bentuk pilihan ganda. Sebaiknya tiap soal diberi angka
2 (dua). Dapat juga angka itu kita samakan dengan angka pada bentuk benar-salah
atau bentuk pilihan ganda jika memang jawaban yang diharapkannya ringan atau
mudah. Tetapi sebaliknya apabila jawabannya bervariasi misalnya lengkap sekali,
lengkap dan kurang lengkap, maka angkanya dapat dibuat bervariasi pula misalnya
2; 1,5; dan 1.
g. Pemberian Skor
Bentuk Soal Menjodohkan (Matching)
Pada dasarnya tes bentuk menjodohkan adalah tes bentuk pilihan
ganda, dimana jawaban-jawaban dijadikan satu, demikian pula
pertanyaan-pertanyaannya. Dengan demikian, maka pilihan jawabannya akan lebih
banyak. Satu kesulitan lagi adalah bahwa jawaban yang dipilih dibuat sedemikian
rupa sehingga jawaban yang satu tidak diperlukan lagi untuk pertanyaan lain.
Kunci jawaban tes bentuk
menjodohkan dapat berbentuk deretan jawaban yang dikehendaki atau deretan nomor
yang diikuti oleh huruf-huruf yang terdapat di depan alternatif jawaban.
Contoh:
1.
Tahun 1922
atau 1. F
2.
Imam bonjol
atau 2. C
3.
Perang padri
atau 3. H
4.
Teuku umar
atau 4. A
5.
P.
Diponegoro atau 5. B
Telah dijelaskan bahwa tes bentuk menjodohkan adalah tes
bentuk pilihan ganda yang lebih kompleks. Maka angka yang diberikan sebagai
imbalan juga harus lebih banyak. Sebagai acuan dapat ditentukan bahwa angka
untuk tiap nomor adalah 2 (dua).
h. Pemberian Skor
Pada Tugas
Kunci jawaban untuk memeriksa tugas merupakan pokok-pokok yang
harus termuat di dalam pekerjaan siswa. Hal ini menyangkut kriteria tentang isi
tugas. Namun sebagai kelengkapan dalam pemberian skor, digunakan suatu tolak
ukur tertentu.
Tolak ukur yang disarankan ini digunakan sebagai ukuran
keberhasilan tugas adalah sebagai berikut:
1.
Ketepatan
waktu penyerahan tugas
2.
Bentuk fisik
pengerjaan tugas yang menandakan keseriusan siswa dalam mengerjakan tugas
3.
Sistematika
yang menunjukkan alur keruntutan berfikir
4.
Kelengkapan
isi menyangkut ketuntasan penyelesaian dan kepadatan isi
5.
Mutu hasil
tugas, yaitu kesesuaian hasil dengan garis-garis yang sudah ditentukan oleh
guru
Dalam mempertimbangkan nilai akhir perlu dipikirkan peranan
masing-masing aspek kriteria tersebut, misalnya:
A1 - ketepatan waktu, diberikan bobot 2
A2 - bentuk fisik, diberi bobot 1
A3 - sistematika, diberi bobot 3
A4 - kelengkapan isi, diberi bobot 3
A5 - mutu hasil, diberi bobot 3
Maka nilai akhir untuk tugas
tersebut diberikan dengan rumus:
2.3 Pemberian Skor Tes Pada Domain
Afektif
Domain
afektif ikut menentukan keberhasilan belajar peserta didik. Sedikitnya terdapat 2 (dua) komponen dalam domain afektif yang penting untuk diukur, yaitu sikap dan
minat terhadap suatu pelajaran. Sikap peserta didik terhadap pelajaran bisa
positif bisa negatif atau netral. Tentu diharapkan sikap peserta didik terhadap
semua mata pelajaran positif sehingga akan timbul minat untuk belajar atau
mempelajarinya. Peserta didik yang memiliki minat pada pelajaran tertentu bisa
diharapkan prestasi belajarnya akan meningkat secara optimal, bagi yang tidak
berminat sulit untuk meningkatkan prestasi belajarnya. Oleh karena itu, guru memiliki tugas untuk membangkitkan
minat kemudian meningkatkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran yang
diampunya. Dengan demikian akan terjadi usaha yang sinergi untuk meningkatkan
kualitas proses pembelajaran.
Langkah
pembuatan instrumen domain afektif termasuk sikap dan minat adalah sebagai
berikut:
a.
Pilih ranah afektif yang akan
dinilai, misalnya sikap atau minat.
b.
Tentukan indikator minat: misalnya
kehadiran di kelas, banyak bertanya, tepat waktu mengumpulkan tugas, catatan di
buku rapi, dan sebagainya. Hal ini selanjutnya ditanyakan pada peserta didik.
c.
Pilih tipe skala yang digunakan,
misalnya Likert dengan 5 skala: sangat berminat, berminat, sama saja, kurang
berminat, dan tidak berminat.
d.
Telaah instrumen oleh sejawat.
e.
Perbaiki instrumen.
f.
Siapkan kuesioner atau inventori
laporan diri.
g.
Skor inventori.
h.
Analisis hasil inventori skala minat
dan skala sikap.
Contoh:
Instrumen untuk mengukur minat peserta didik yang
telah berhasil dibuat ada 10 butir. Jika rentangan yang dipakai adalah 1 sampai
5, maka skor terendah seorang peserta didik adalah 10, yakni dari 10 x 1 dan
skor tertinggi sebesar 50, yakni dari 10 x 5. Dengan demikian, mediannya adalah
(10 + 50)/2 atau sebesar 30. jika dibagi menjadi 4 kategori, maka skala 10-20
termasuk tidak berminat, 21 sampai 30 kurang berminat, 31 – 40 berminat, dan
skala 41 – 50 sangat berminat.
2.4 Pemberian Skor Tes pada Domain Psikomotor
a. Penyusunan Tes Psikomotor
Tes untuk
mengukur ranah psikomotor adalah tes untuk mengukur penampilan atau kinerja (performance) yang telah dikuasai
peserta didik. Tes tersebut menurut Lunetta dkk. (1981) dalam Majid (2007)
dapat berupa tes paper and pencil,
tes identifikasi, tes simulasi, dan tes unjuk kerja.
Skala
penilaian cocok untuk menghadapi subjek yang jumlahnya sedikit. Perbuatan yang
diukur menggunakan alat ukur berupa skala penilaian terentang dari sangat tidak
sempurna sampai sangat sempurna. Jika dibuat skala 5, maka skala 1 paling tidak
sempurna dan skala 5 paling sempurna.
Misal
dilakukan pengukuran terhadap keterampilan peserta didik menggunakan
thermometer badan. Untuk itu dicari indikator-indikator apa saja yang
menunjukkan peserta didik terampil menggunakan thermometer tersebut, misal
indikator-indikator sebagai berikut:
1)
Cara mengeluarkan termometer dari
tempatnya.
2)
Cara menurunkan posisi air raksa
serendah-rendahnya.
3)
Cara memasang termometer pada tubuh
orang yang diukur suhunya.
4)
Lama waktu pemasangan termometer
pada tubuh orang yang diukur suhunya.
5)
Cara mengambil termometer dari tubuh
orang yang diukur suhunya.
6)
Cara membaca tinggi air raksa dalam
pipa kapiler termometer.
Dari
contoh cara pengukuran suhu badan menggunakan skala penilaian, ada 6 butir soal
yang dipakai untuk mengukur kemampuan seorang peserta didik jika untuk butir 1
peserta didik yang bersangkutan memperoleh skor 5 berarti sempurna/benar, butir
2 memperoleh skor 4 berarti benar tetapi kurang sempurna, butir 3 memperoleh
skor 4 berarti juga benar tetapi kurang sempurna, butir 4 memperoleh skor 3
berarti kurang benar, butir 5 memperoleh skor 3 berarti kurang benar, dan butir
6 juga memperoleh skor 3 berarti kurang benar, maka total skor yang dicapai
peserta didik tersebut adalah
(5 + 4 + 4 + 3 + 3 + 3) atau 22. Seorang peserta didik yang gagal akan memperoleh
skor 6, dan yang berhasil melakukan dengan sempurna memperoleh skor 30; maka
median skornya adalah (6 + 30)/2 = 18. Jika dibagi menjadi 4 kategori, maka
yang memperoleh skor 6 – 12 dinyatakan gagal, skor 13 – 18 berarti kurang
berhasil, skor 19 – 24 dinyatakan berhasil, dan skor 25 – 30 dinyatakan sangat
berhasil. Dengan demikian peserta didik dengan skor 21 dapat dinyatakan sudah
berhasil tetapi belum sempurna/belum sepenuhnya baik jika sifat keterampilannya
adalah absolut, maka setiap butir harus dicapai dengan sempurna (skala 5).
Dengan demikian hanya peserta didik yang memperoleh skor total 30 yang
dinyatakan berhasil dan dengan kategori sempurna.
Tabel 6.4. Kisi-kisi soal ujian bisa sebagai berikut
2.5 Hambatan Dan Solusi Dalam Pemberian Skor
Adakalanya guru dituntut untuk memberikan nilai terhadap
prestasi belajar siswa tanpa memberikan skor terlebih dahulu. Misalnya, pada
waktu ujian lisan. Apabila nilai ujian diberikan terhadap setiap butir pertanyaan,
maka akan cukup memadahi. Tetapi hal yang perlu diperhatikan adalah munculnya
unsur subjektifitas sehingga guru seringkali melakukan hal-hal diluar keadilan.
Contohnya adalah guru yang berkali-kali menunjukkan
kepuasannya terhadap hasil belajar siswa dan bagaimana guru tersebut
mempertahankan seorang siswa. Subjektifitas tidak hanya berimplikasi pada
kredibilitas nilai yang dihasilkan saja tetapi juga berdampak pada kriteria
dalam pengukuran tingkat pencapain hasil belajar yang dimaksud.
Dalam menentukan nilai terhadap tiap-tiap aspek ini pun kita
dituntut untuk memberikan pertimbangan yang didasari oleh kebijaksanaan.
Sebenarnya guru dapat mengambil beberapa langkah sebagai dasar untuk
meminimalisir kesulitan objektifitas penilaian tersebut yaitu dengan cara sebagai
berikut:
1)
Bertitik tolak dari batas bawah, yaitu berpikir pekerjaan yang jelek diberi
nilai berapa, kemudian membandingkan hasil pekerjaan yang kita hadapi dengan
nilai batas bawah tersebut. Dari batas bawah ini kita memberikan tambahn nilai
sebanyak jarak antara nilai batas bawah dengan pekerjaan siswa. Jadi, kita
berangkar dari bawah, lalu naik ke atas. Menurut pengalaman, oemberian nilai
dengan cara ini cenderung menghasilkan nilai rendah.
2)
Bertitik tolak dari plafon atau batas atas. Dengan cara ini kita berpikir mengenai
kesempurnaan pekerjaa, tetapi diukur menurut ukuran siswa, bukan diukur dengan
kemampuan guru. Selanjutnya berangkat dari nilai batas atas tersebut kita
kurangkan sedikit-sedikit sejauh kesenjangan antara nilai batas dengan
pekerjaan siswa yang dihadapi. Jadi, kita berangkat dari atas kemudian turun ke
bawah. Menurut pengalaman, pemberian nilai dengan cara ini cenderung
menghasilkan nilai yang tinggi.
Cara-cara seperti diatas dapat
juga diterapkan untuk menilai tugas-tugas yang sifatnya relatif dan cenderung
menimbulkan subjektifitas.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara umum faktor yang mempengaruhi skor adalah hal
yang permanen dalam diri siswa, hal yang temporer dalam diri siswa,
penyelenggaraan, dan hal yang tidak pernah diperhitungkan lainnya.
Tes objektif menganut prinsip penskoran dikotomi, benar diberi angka 1 dan
salah diberi angka 0. Sedangkan, tes subjektif menganut prinsip penskoran
politomi,benar diberi angka 1 dan salah tidak diberi angka 0.
Penskoran adalah pembuatan skor hasil tes
prestasi peserta didik berdasarkan model tipe soal dan
pembobotannya pada suatu perangkat tes, umumnya hasil penskoran dirupakan dalam
bentuk angka.
Untuk bentuk soal tes objektif bisa digunakan rumus
yang masing- masing telah di tentukan.
Cara menskor soal-soal essay sebaiknya menilai dari ukuran hasil belajar yang sedang
diukur, lalu mengevaluasi semua
jawaban-jawaban siswa soal demi soal tanpa mengetahui identitas atau nama murid
yang mengerjakan jawaban tersebut.
Dalam membuat
penskoran dan pembobotan butir soal suatu tes, maka yang harus diperhatikan
adalah tingkatan dalam setiap domain (kognitif, afektif, dan psikomotor).
Bentuk perangkat tes yang baik adalah tes yang butir-butir soalnya disusun
dengan memperhatikan komponen-komponen tingkatan dalam suatu domain dan
tersusun lebih dari satu bentuk tes.
Sebelum atau selama pembuatan soal tes, guru harus merencanakan bentuk-bentuk
penskoran yang akan diberlakukan. Hal ini akan dapat membantu guru dalam melaksanakan prinsip objektif
dan metodik dalam kegiatan penskoran sehingga tidak terkesan asal memberi skor.
Hasil penskoran yang terencana akan memudahkan kegiatan berikutnya dalam
penilaian, yaitu mengkonversi skor hasil belajar menjadi skor prestasi atau nilai
standar.
3.2 Saran
Sebagai seorang guru dituntut
untuk memiliki kompetensi yang profesional dalam memberikan skor atau nilai
kepada siswa. Hal ini perlu diperhatikan oleh guru karena hasil dari skoring
memiliki implikasi yang luas dan kompleks, tidak hanya pada siswa tetapi juga
pihak-pihak yang berkepentingan terhadap nilai tersebut. Maka dari itu, guru
harus memiliki pengetahuan yang cukup dan ketrampilan yang profesional dalam memberikan
penilaian terhadap hasil belajar siswa sehingga dapat benar-benar
merepresentasikan capaian hasil belajar siswa.
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suhasimi.2011.Dasar-dasar
Evaluasi Pendidikan.Ed.Revisi, Cet.12. Jakarta: Bumi Aksara.
Purwanto, Ngalim. 2009.
Prinsip-prinsip dan Tehnik Evaluasi Pembelajaran.Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Reksaayu, Sagitri. 2012. (Online), (http://sagitrikuntireksaayu.blogspot.com/2012/05/pemberian-skor-verifikasi-dan-standar.html), diakses 17 Maret 2015.
Ahmadurrahman.2010.(Online),(http://pjjpgsd.dikti.go.id/file.php/1/repository/dikti/Mata%20Kuliah%20Awal/Assesment%20Pembelajaran/BAC/assessmen_pembelajaran_6.pdf), diakses 17 Maret 2015.
thanks for this info.
ReplyDeletePensekoran beda bobot itu rumit contoh, jawaban untuk soal evaluasi 6, kalau salah adalah 0, betapa ruginya..
ReplyDeletebgmna menentukkan bobotny? sy memiliki 30 nomor, di dalamnya ada 10 nomor pilihan ganda, 5 nomor essay, 5 nomor isian dan 10 nomor soal mencocokan. Nilai akhirnya di peroleh seperti apa?
ReplyDelete